Beranda | Artikel
Rincian Hukum Nafkah untuk Anak
Kamis, 15 Mei 2014

Rincian Nafkah untuk Anak

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Ada dua batasan untuk keadaan anak terkait kewajiban nafkah dari orang tuanya. Batasan pertama, usia, apakah anak sudah baligh ataukah belum. Batasan kedua, harta, apakah anak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya ataukah tidak memiliki harta, sehingga masih bergantung kepada orang lain.

Dari dua batasan ini, kita bisa mengelompokkan anak menjadi empat kategori:

  1. Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta
  2. Anak yang belum baligh dan memiliki harta
  3. Anak yang sudah baligh dan memiliki harta
  4. Anak yang sudah baligh dan tidak memiliki harta

Masing-masing memiliki hukum yang berbeda terkait kewajiban nafkah orang tua kepada anaknya.

Pertama, anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta

Menurut keterangan Imam Ibnul Mundzir (ulama masjidil Haram, w. 319 H.), bahwa para ulama – sejauh pengetahuan beliau – telah sepakat bahwa nafkah anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta ditanggung oleh ayahnya. Ibnul Mundzir mengatakan,

أجمع كل من نحفظ عنه العلم أن على المرء نفقة أولاده الأطفال الذين لا مال لهم

Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta. (al-Mughni, 8/171).

Kedua dan ketiga, anak belum baligh atau sudah baligh yang memiliki harta.

Para ulama menegaskan, apabila anak memiliki harta yang cukup untuk menutupi seluruh kebutuhannya, maka ayahnya tidak wajib menanggung nafkahnya.

Dalam penjelasan tentang masalah nafkah anak, As-Shan’ani mengatakan,

فإن كانت لهم أموال فلا وجوب على الأب

“Jika mereka memiliki harta, maka tidak ada kewajiban nafkah atas ayahnya.” (Subulus Salam, 2/325)

Keempat, anak sudah baligh yang tidak memiliki harta

Salah satu contoh konkrit di tempat kita untuk model anak keempat adalah para ‘pengangguran terselubung’ di kalangan siswa SMP, SMA, dan Mahasiswa. Sebagian besar mereka masih menggantungkan nafkahnya kepada orang tuanya.

Untuk keadaan keempat ini, ulama membagi dua:

  1. Anak perempuan. Mereka wajib dinafkahi ayahnya hingga dia menikah.
  2. Anak laki-laki, ulama berbeda pendapat, apakah anak laki-laki sudah baligh yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, wajib dinafkahi ayahnya ataukah tidak.

Pendapat pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban nafkah hanya sampai usia baligh untuk anak laki-laki dan sampai nikah untuk anak perempuan.

Dalam Subulus Salam, as-Shan’ani menjelaskan,

وذهب جمهور إلى أن الواجب الإنفاق عليهم إلى أن يبلغ الذكر وتتزوج الأنثى ثم لا نفقة على الأب إلا إذا كانوا زمنى

Sementara mayoritas ulama berpendapat, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu sampai usia baligh atau sampai menikah bagi anak perempuan. Kemudian setelah itu, tidak ada tanggungan kewajiban nafkah atas bapak, kecuali jika anaknya sakit-sakitan. (Subulus Salam, 2/325).

Pendapat kedua, orang tua tetap wajib memberikan nafkah kepada anaknya yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, meskipun sudah baligh.

Dalam Subulus Salam juga dinyatakan,

قال ابن المنذر: اختلف في نفقة من بلغ من الأولاد ولا مال له ولا كسب، فأوجب طائفة النفقة لجميع الأولاد أطفالا كانوا أو بالغين إناثا أو ذكرانا إذا لم يكن لهم أموال يستغنون بها عن الآباء

Ibnul Mundzir menyebutkan, para ulama berbeda pendapat tentang nafkah anak sudah baligh yang tidak memiliki harta dan pekerjaan. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayah wajib memberi nafkah untuk semua anaknya, baik belum baligh maupun yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan. Apabila mereka tidak memiliki harta yang mencukupi, sehingga tidak membutuhkan bantuan bapak. (Subulus Salam, 2/325).

Diantara ulama yang memilih pendapat ini adalah al-Mardawi. Dalam kitabnya al-Inshaf beliau menyebutkan,

يلزمه نفقة سائر آبائه وإن علوا، وأولاده وإن سفلوا

Termasuk yang wajib dinafkahi seseorang adalah bapaknya, kakeknya dan seterusnya ke atas. Serta anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah.

Kemudian beliau menjelaskan,

شمل قوله ” وأولاده وإن سفلوا ” الأولاد الكبار الأصحاء الأقوياء إذا كانوا فقراء. وهو صحيح

Yang dimaksud ‘anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah’ mencakup anaknya yang sudah besar (baligh), yang sehat, kuat, jika mereka fakir (tidak memiliki harta dan pekerjaan). Inilah pendapat yang kuat. (al-Inshaf fi Ma’rifati ar-Rajih min al-Khilaf, 9/393).

Demikian, Allahu a’lam.

Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/22545-rincian-hukum-nafkah-untuk-anak.html